Selasa, 30 Juni 2009

teori pendidikan

Taksonomi of education Benjamin S Bloom
Suatu teori pendidikan yang tersusun berbagai domain,setiap domain itu dibagi kembali
kedalam pembagian yang lebih rinci berdasarkan hirarki. Taksonomi Bloom terdiri dari 3 domain:
1. Domain kognitif : lebih berdasar kepada perilaku-perilaku yang berdasarkan pada
intelektualitas.mencakup:
• Pengetahuan (knowledge)
• Pemahaman (comprehension)
• Aplikasi (application)
• Analisis (analysis)
• Sintesis (synthesis)
• Evaluasi (evaluation)
2. Domain afektif: lebih berdasar kepada perasaan dan emosi. Mencakup:
• Penerimaan(receiving)
• Tanggapan (responding)
• Penghargaan (vauling)
• Pengorganisasian(organization)
• Karakterisasi berdasarkan nilai-nilai(characterization by value or value complek)
3. Domain psikomotor: lebih berdasar kepada personal skill/kemampuan fisik seseorang
• Persepsi (perception)
• Kesiapan(set)
Teori taksonomi ini penting dikarenakan
• Menciptakan suatu perencanaan belajar yang aktif,efektif dan kreatif bagi siswa
• Untuk mengetahui perkembangan siswa dalam belajar.
• Mengevaluasikan efektivitas pembelajaran
• mengembangkan kerangka klasifikasi untuk menulis tujuan pendidikan
Dampak negative apabila pendidik/sekolah tidak menyadari teori Bloom
• Tidak akan bisa melihat keseluruhan dari siswa yang berupa kognitif,afektif, psikomotor.
• Tidak bisa mengembangkan kerangka klasifikasi untuk menulis tujuan pendidikan, dikarenakan
tidak mengetahui hirarki tujuan pendidikan
• Tidak bisa merencanakan perencanaan belajar secara sempurna dikarenakan perencanaan tidak
rinci.
Mastery learning(belajar tuntas)
Suatu proses belajar semua siswa sama jika diberi waktu yang cukup dan kesempatan belajar
yang memadai, dimana semua siswa berbeda dalam kecepatan memahami suatu pelajaran.
Asumsi dasar Mastery learning
Asumsi dasar yaitu siswa tidak ada yang pintar maupun yang bodoh, jadi tidak pembedaan antar
siswa yang pintar dengan yang bodoh. Yang membedakan bagaimana kecepatan antar siswa dalam
memahami suatu pelajaran.
Hal-hal yang meningkatkan hasil pembelajaran menurut konsep Mastery learning yang harus dilakukan
pendidik/sekolah
• Perhatian Guru kesetiap murid per individu secara keseluruhan
• Tidak membedakan murid yang satu dengan murid yang lain
• Memberikan jam tambahan pelajaran dikarenakan untuk memberikan waktu yang cukup untuk
memahami pelajaran
• Jangan melanjutkan ke materi lain jika materi sebelum siswa memahami materi itu
• Memberikan kebebasan waktu dalam mengumpulkan tugas/mengerjakan tugas dikarenakan setiap
siswa dalam memahami berbeda
Hal-hal yang jangan dilakukan oleh para pendidik/sekolah untuk meningkatkan hasil pembelajaran
menurut konsep mastery learning
• Guru jangan memperhatikan satu siswa saja/ memperhatikan siswa yang cerdas tapi harus
memperhatikan seluruh siswa
• Jangan mengejar materi apabila materi sebelumnya belum tuntas
• Menekan siswa untuk mengerjakan tugas/ mengumpulkan tugas tepat waktu
Ralph W Tyler
Buku laid out deceptively-struktur sederhana untuk mengevaluasi dan memberikan
instruksi yang terdiri dari empat bagian yang kemudian dikenal sebagai Tyler alasan:
1. Apa tujuan pendidikan sekolah harus berusaha untuk mencapai? ((Mendefinisikan sesuai
tujuan belajar.)
2. Bagaimana pengalaman belajar dapat dipilih yang mungkin berguna dalam mencapai
tujuan? (Memperkenalkan berguna pengalaman belajar.)
3. Bagaimana pengalaman belajar efektif untuk diorganisir instruksi? (Mengorganisir
pengalaman untuk memaksimalkan pengaruh mereka.)
4. Bagaimana efektivitas belajar pengalaman dievaluasi (Mengevaluasi proses revisi dan
daerah-daerah yang tidak efektif.)
Dari buku ini bisa diambil kesimpulan Teori Ralph W TYLER tentang tahap-tahap
pengembagan kurikulum dan pembelajaran
• Learning objectives: setiap kegiatan yang harus mempunya tujuan yang akan dicapai
• Learning experiences: apa-apa yang harus dipersiapkan dalam setiap kegiatan
• Organization of experiences: hal-hal yang harus didahulukan/ terorganisasinya kegiatan
• Evalutions: evaluasi dari semua kegiatan.
Tujuan menurut Ralph w tyler harus dirumuskan jelas dan spesifik karena Menggunakan
Tujuan untuk merencanakan kegiatan belajar-mengajar untuk beberapa banyak, baik yang
dinyatakan tujuan menyiratkan jenis kegiatan belajar-mengajar yang akan sesuai untuk mencapai
mereka. faktor apa yang mungkin muncul menjadi jelas hubungan antara tujuan dan kegiatan
yang setiap aktivitas instruksional memiliki beberapa tujuan tujuan pengaturan proses adalah
beberapa waktu s dilihat sebagai satu-ke-satu hubungan antara berbagai tingkat tujuan dan
tingkat kegiatan sekolah. Sementara rantai serupa yang terkait adalah tujuan dasar untuk
kurikulum suara perencanaan, pengembang tidak boleh menganggap bahwa kesederhanaan
sepenuhnya mewakili realitas sekolah. Ketika seorang guru yang terlibat dalam mengajar
membaca ia juga harus sadar dan mengajar menuju tujuan-tujuan lain: kemampuan berpikir,
pengetahuan manusia prestasi, hubungan dengan yang lain, konsep diri positif, dan seterusnya.
Evaluasi harus mengacu pada tujuan karena evaluasi digunakan untuk menentukan
keberhasilan/kegagalan kompetensi dasar yang merupakan indikator dari tujuan ,sebenarnya
mereka diharapkan untuk memenuhi kriteria: kejelasan dan pentingnya. Para pendidik,
masyarakat, dan isi yang ahli meninjau tujuan akan ditanya, "Anda memahami apa tujuan ini
berarti? Penting adalah bagaimana para siswa yang belajar di sekolah ini? "Tujuan yang jelas dan
sering dianggap penting walaupun mereka dinyatakan dan hanya sebentar. Bila sasaran telah
diidentifikasi, penilaian nasional anggota staf atau konsultan mengembangkan latihan dirancang
agar definisi operasional yang ditujukan hasilnya. Ketentuan, standar kinerja dan sebagainya
ditetapkan untuk latihan, bukan untuk tujuan.
Menetapkan tujuan yang sulit karena membutuhkan assembling dan beratnya semua
faktor yang harus diperhatikan dalam memilih yang relatif sedikit, namun penting tujuan yang
dapat dicapai dengan keterbatasan waktu dan sumber daya yang tersedia untuk sekolah.
kebutuhan dan kesempatan masyarakat, kebutuhan siswa, sumber daya dari beasiswa, nilai
demokrasi dan kondisi yang diperlukan untuk belajar efektif harus dianggap.
John Dewey
Hal-hal yang harus dilakukan dalam pendidikan menurut john dewey
1. Pendidikan terfokus pada anak
2. Hands on learning: menyediakan belajar dengan melakukan - membantu siswa untuk
memperoleh pengetahuan dan keterampilan di luar buku dan pengajaran didalam kelas.
Belajar dapat terjadi melalui bekerja, bermain dan pengalaman hidup lainnya.
3. Project based learning: semua proses pengerjaan proyek yang dilakukan oleh tiap pelajar
berdasar pada partisipasi dan produktifitasnya dalam pengerjaan proyek.
4. Pembelajaran langsung
5. Tujuan pembelajaran untuk menciptakan kemampuan menyelesaikan masalah dengan
kreatif
Hal-hal yang jangan dilakukan dalam pendidikan menurut john dewey
1. Otoriter
2. Pembelajaran yang terlalu kaku
3. Terpaksaan murid
4. Pengetahuan baku
Menurut saya, pembelajaran yang alami/saksikan tidak menerapkan teori John dewey
karena pendidikan john dewey berdasarkan minat siswa, sedangkan pendidikan yang saya
saksikan dan yang saya alami tidak berdasarkan minat siswa, misalnya pendidikan berdasarkan
minat siswa berarti ada yang nama penjurusan kelas yang berdasarkan minat siswa yng berlaku
dari jenjang Sd,Smp dan Sma, sedangkan di Indonesia itu penjurusan kelas itu hanya di SMA
saja.
John Piaget
C. TAHAP-TAHAP PERKEMBANGAN
Piaget mengidentifikasi empat faktor yang mempengaruhi transisi tahap perkembangan
anak, yaitu :
1. kematangan
2. pengalaman fisik / lingkungan
3. transmisi social
4. equilibrium
Selanjutnya Piaget mengemukakan tentang perkembangan kognitif yang dialami setiap
individu secara lebih rinci, mulai bayi hingga dewasa. Teori ini disusun berdasarkan studi klinis
terhadap anak-anak dari berbagai usia golongan menengah di Swiss.
Berdasarkan hasil penelitiannya, Piaget mengemukakan ada empat tahap perkembangan
kognitif dari setiap individu yang berkembang secara kronologis :
1. tahap Sensori Motor : 0 – 2 tahun ;
2. tahap Pra Operasi : 2 – 7 tahun ;
3. tahap Operasi Konkrit : 7 – 11 tahun ;
4. tahap Operasi Formal : 11 keatas.
Sebaran umur pada seiap tahap ersebut adalah rata-rata (sekitar) dan mungkin pula
terdapat perbedaan antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lainnya, antara individu
yang satu dengan individu yang lainnya. Dan teori ini berdasarkan pada hasil penelitian di
Negeri Swiss pada tahun 1950-an.
a. Tahap Sensori Motor (Sensory Motoric Stage)
Bagi anak yang berada pada tahap ini, pengalaman diperoleh melalui fisik (gerakan
anggota tubuh) dan sensori (koordinasi alat indra)
Pada mulanya pengalaman itu bersatu dengan dirinya, ini berarti bahwa suatu objek itu
ada bila ada pada penglihatannya. Perkembangan selanjutnya ia mulai berusaha untuk mencari
objek yang asalnya terlihat kemudian menghiang dari pandangannya, asal perpindahanya terlihat.
Akhir dari tahap ini ia mulai mencari objek yang hilang bila benda tersebut tidak terlihat
perpindahannya. Objek mulai terpisah dari dirinya dan bersamaan dengan itu konsep objek
dalam struktur kognitifnya pun mulai dikatakan matang. Ia mulai mampu untuk melambungkan
objek fisik ke dalam symbol-simbol, misalnya mulai bisa berbicara meniru suara kendaraan,
suara binatang, dll.
Kesimpulan pada tahap ini adalah : Bayi lahir dengan refleks bawaan, skema
dimodifikasi dan digabungkan untuk membentuk tingkah laku yang lebih kompleks. Pada masa
kanak-kanak ini, anak beum mempunyai konsepsi tentang objek yang tetap. Ia hanya dapat
mengetahui hal-hal yang ditangkap dengan indranya.
b. Tahap Pra Operasi ( Pre Operational Stage)
Tahap ini adalah tahap persiapan untuk pengorganisasian operasi konkrit. Istilah operasi
yang digunakan oleh Piaget di sini adalah berupa tindakan-tindakan kognitif, seperti
mengklasifikasikan sekelompok objek (classifying), menata letak benda-benda menurut urutan
tertentu (seriation), dan membilang (counting), (mairer, 1978 :24). Pada tahap ini pemikiran
anak lebih banyak berdasarkan pada pengalaman konkrit daripada pemikiran logis, sehingga jika
ia melihat objek-ojek yang kelihatannya berbeda, maka ia mengatakanya berbeda pula. Pada
tahap ini anak masih berada pada tahap pra operasional belum memahami konsep kekekalan
(conservation), yaitu kekekalan panjang, kekekalan materi, luas, dll. Selain dari itu, cirri-ciri
anak pada tahap ini belum memahami dan belum dapat memikirkan dua aspek atau lebih secara
bersamaan.
Kesimpulan pada tahap ini adalah : Anak mulai timbul pertumbuhan kognitifnya, tetapi
masih terbatas pada hal-hal yang dapat dijumpai (dilihat) di dalam lingkungannya saja.
c. Tahap Operasi Konkrit (Concrete Operational Stage)
Anak-anak yang berada pada tahap ini umumnya sudah berada di Sekolah Dasar, dan
pada umumnya anak-anak pada tahap ini telah memahami operasi logis dengan bantuan bendabenda
konkrit. Kemampuan ini terwujud dalam memahami konsep kekekalan, kemampuan untuk
mengklasifikasikan dan serasi, mampu memandang suatu objek dari sudut pandang yang berbeda
secara objek
Anak pada tahap ini sudah cukup matang untuk menggunakan pemikiran logika, tetapi
hanya objek fisik yang ada saat ini (karena itu disebut tahap operasional konkrit). Namun, tanpa
objek fisik di hadapan mereka, anak-anak pada tahap ini masih mengalami kesulitan besar dalam
menyelesaikan tugas-tugas logika.
Smith (1998) memberikan contoh. Anak-anak diberi tiga boneka dengan warna rambut
yang berlainan (Edith, Suzan, dan Lily), tidak mengalami kesulitan untuk mengidentifikasi
boneka yang berambut paling gelap. Namun, ketika diberi peranyaan, “Rambut Edith lebih
terang daripada rambut Lily. Rambut siapakah yang paling gelap?” , anak-anak pada tahap
operasional konkret mengalami kesulitan karena mereka belum mampu berpikir hanya dengan
menggunakan lambang-lambang.
Kesimpulan pada tahap ini adalah : Anak telah dapat mengetahui symbol-simbol
matematis, tetapi belum dapatt menghadapi hal-hal yang abstrak (tak berwujud).
d. Tahap Operasi Formal (Formal Operation Stage)
Tahap operasi formal ini adalah tahap akhir dari perkembangan konitif secara kualitatif.
Anak pada tahap ini sudah mampu melakukan penalaran dengan menggunakan hal-hal yang
abtrak dan menggunakan logika. Penggunaan benda-benda konkret tidak diperlukan lagi. Anak
mampu bernalar tanpa harus berhadapan dengan dengan objek atau peristiwanya berlangsung.
Penalaran terjadi dalam struktur kognitifnya telah mampu hanya dengan menggunakan simbolsimbol,
ide-ide, astraksi dan generalisasi. Ia telah memiliki kemampuan-kemampuan untuk
melakukan operasi-operasi yang menyatakan hubungan di antara hubungan-hubungan,
memahami konsep promosi.
Sebagai contoh eksperimen Piaget berikut ini :
Seorang anak pada tahap ini dihadapkan pada gambar “pak Pendek” dan untaian klip
(penjepit kertas) untuk mengukur tinggi “Pak Pendek” itu. Kemudian ditambahkan penjelasan
dalam bentuk verbal bahwa “Pak Pendek” itu mempunyai teman “Pak Tinggi”. Lebih lanjut
dikatakan bahwa apabila diukur dengan batang korek api tinggi “Pak Pendek”empat batang
sedangkan tinggi “Pak Tinggi” enam batang korek api.
Berapakah tinggi “Pak Tinggi” bila diukur dengan klip? Dalam memecahkan masalah
diatas, anak harus memerlukan operasi terhadap operasi.
Karakteristik dari anak pada tahap ini adalah telah memiliki kekampuan untuk melakukan
penalaran hipotek-deduktif, yaitu kemampuan untuk menyusun serangkaian hipotesis dan
mengujinya (child, 1977 : 127)
Kesimpulan pada tahap ini adalah :
Pada tahap operasional formal, anak-anak sudah mampu memahami bentuk argumen dan
tidak dibingungkan oleh isi argument (karena itu disebut operasional formal).
Tahap ini mengartikan bahwa anak-anak telah memasuki tahap baru dalam logika orang
dewasa, yaitu mampu melakukan penalaran abstrak. Sama halnya dengan penalaran abstrak
sistematis, operasi-operasi formal memungkinkan berkembangnya system nilai dan ideal, serta
pemahaman untuk masalah-masalah filosofis.
Cara-cara dalam mengembangkan pendidikan Tk dan SD menurut teori jean piaget
Teori psikologi perkembangan Jean Piaget selama ini telah menjadi rujukan utama
kurikulum TK dan bahkan pendidikan secara umum. Pelajaran membaca, menulis, dan berhitung
secara tidak langsung dilarang untuk diperkenalkan pada anak-anak di bawah usia 7 tahun.
Piaget beranggapan bahwa pada usia di bawah 7 tahun anak belum mencapai fase operasional
konkret. Fase itu adalah fase, di mana anak-anak dianggap sudah bisa berpikir terstruktur.
Sementara itu, kegiatan belajar calistung sendiri didefinisikan sebagai kegiatan yang
memerlukan cara berpikir terstruktur.
Piaget khawatir otak anak-anak akan terbebani jika pelajaran calistung diajarkan pada
anak-anak di bawah 7 tahun. Alih-alih ingin mencerdaskan anak, akhirnya anak-anak malah
memiliki persepsi yang buruk tentang belajar dan menjadi benci dengan kegiatan belajar setelah
mereka beranjak besar.
Persiapan belajar membaca mempunyai tiga unsur pokok. Yaitu minat untuk membaca,
kemampuan membedakan secara visual (bentuk, warna, ukuran) dan kemampuan membedakan
suara-suara. Untuk memupuk minat baca si kecil, orangtua bisa melatihnya dengan memberikan
dan membacakan buku-buku cerita dengan gambar yang menarik.
Berorientasi pada Kebutuhan Anak
Kegiatan pembelajaran pada anak harus senantiasa berorientasi kepada kebutuhan anak.
Anak usia dini adalah anak yang sedang membutuhkan upaya-upaya pendidikan untuk
mencapai optimalisasi semua aspek perkembangan baik perkembangan fisik maupun
psikis, yaitu intelektual, bahasa, motorik, dan sosio emosional.
Belajar melalui bermain
Bermain merupakan saran belajar anak usia dini. Melalui bermain anak diajak untuk
bereksplorasi, menemukan, memanfaatkan, dan mengambil kesimpulan mengenai benda di
sekitarnya.
Lingkungan yang kondusif
Lingkungan harus diciptakan sedemikian rupa sehingga menarik dan menyenangkan
dengan memperhatikan keamanan serta kenyamanan yang dapat mendukung kegiatan
belajar melalui bermain.
Menggunakan pembelajaran terpadu
Pembelajaran pada anak usia dini harus menggunakan konsep pembelajaran terpadu yang
dilakukan melalui tema. Tema yang dibangun harus menarik dan dapat membangkitkan
minat anak dan bersifat kontekstual. Hal ini dimaksudkan agar anak mampu mengenal
berbagai konsep secara mudah dan jelas sehingga pembelajaran menjadi mudah dan
bermakna bagi anak.
. Mengembangkan berbagai kecakapan hidup
Mengembangkan keterampilan hidup dapat dilakukan melalui berbagai proses pembiasaan.
Hal ini dimaksudkan agar anak belajar untuk menolong diri sendiri, mandiri dan
bertanggungjawab serta memiliki disiplin diri.
Menggunakan berbagai media edukatif dan sumber belajar
Media dan sumber pembelajaran dapat berasal dari lingkungan alam sekitar atau bahanbahan
yang sengaja disiapkan oleh pendidik /guru.
Dilaksanakan secara bertahap dan berulang –ulang
Pembelajaran bagi anak usia dini hendaknya dilakukan secara bertahap, dimulai dari
konsep yang sederhana dan dekat dengan anak. Agar konsep dapat dikuasai dengan baik
hendaknya guru menyajikan kegiatan–kegiatan yang berulang-ulang.
Paulo Freire
TUJUAN akhir setiap manusia sejatinya adalah humanisasi atau menjadi lebih humanis.
Untuk mencapai tujuan tersebut manusia senantiasa menggali potensinya dengan suatu proses
kontinyu yang dinamakan dengan belajar. Sayangnya proses tersebut selalu disederhanakan
dengan sekolah dari SD dan akan berhenti setelah sarjana.
Slogan belajar sepanjang hayat telah berubah menjadi belajar sampai sarjana. Maka tidak
mengherankan jika setiap individu berpacu untuk sekolah yang tinggi dengan harapan mampu
menjadi manusia yang humanis.
Tanpa kita sadari sesungguhnya pendidikan yang terbatas pada ruang segi empat yang
kita namakan kelas itu telah mereduksi sisi kemanusiaan kita (dehumanisasi). Pendidikan telah
menjadi arena pemaksaan untuk mempelajari konsep-konsep ilmu yang begitu banyak, yang
mungkin sudah usang, dan tidak ada kaitan langsung dengan kehidupan peserta didik.
Pendidikan hanya menjadikan individu-individu untuk beradaptasi dengan
lingkungannya, bukannya merubah realitas yang ada. Maka tidaklah mengherankan jika kita
seringkali mendengar istilah: sulit menjadi orang baik di lingkungan tidak baik. Hal ini
sesungguhnya mengindikasikan bahwa ada keengganan untuk mengubah keadaan yang ada
(sistem), tetapi sebisa mungkin menyesuaikan dengan sistem yang ada. Jika hal ini berjalan
terus-menerus maka tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa akan menjadi cita-cita yang
menggantung di langit, utopis, dan tidak pernah tercapai.
Paulo Freire, paedagogik kritis asal Brazil telah menggagas pentingnya pendidikan kritis
melalui proses konsientisasi. Konsientisasi atau proses penyadaran adalah upaya penyadaran
terhadap sistem pendidikan yang menindas yang menjadikan masyarakat mengalami
dehumanisasi.
Pendidikan diharapkan mampu mendekonstruksi kenyataan sosial, ekonomi, dan politik
dan merekonstruksi untuk menyelesaikan problem masyarakat. Dengan demikian pendidikan
akan menjadi problem solver, bukan malah menjadi part of problem.
Membangun pendidikan kritis melalui upaya penyadaran (konsientisasi) sebagaimana
yang ditawarkan oleh Freire tidaklah mudah. Pendidikan kritis tidak mungkin atau susah
direalisasikan jika guru sebagai ujung tombak pembelajaran tidak memahami hakikat pendidikan
kritis itu sendiri.
Daya kritis guru terlanjur digadaikan dengan juklak dan juknis dari atasan dan disibukkan
dengan administrasi-administrasi yang menumpuk.
Realitas yang ada menggambarkan bahwa pendidikan kritis tidak mungkin segera
dilaksanakan dalam waktu dekat. Untuk itu diperlukan strategi dan langkah-langkah untuk
mencapainya. Langkah pertama yang paling strategis adalah memperbaiki konsep kurikulum
lembaga keguruan sebagai pencetak calon guru. Lembaga ini harus mampu menghasilkan calon
guru yang mampu menganalisis kurikulum untuk dikaitkan langsung dengan problem kehidupan
yang ada, menjadi fasilitator, motivator, dan administrator. Kecenderungan yang ada selama ini
adalah terbatasnya kualitas lulusan pada kemampuan sebagai administrator, sehingga guru
kurang berhasil memerankan peranan sebagai fasilitator dan motivator yang baik.
Langkah kedua adalah mengubah proses pembelajaran dari paedagogik ke andragogik.
Pembelajaran yang bercorak paedagogik hanya akan menghasilkan budaya bisu (the cultural of
silence). Di situ peserta didik diposisikan sebagai objek yang harus menuruti kemauan guru.
Dengan pembelajaran yang bercorak andragogik maka peserta didik menjadi mitra
belajar bagi guru itu sendiri.
Guru dan peserta didik menjadi sama-sama belajar, ada keharmonisan dan kehangatan
dalam belajar karena keduanya merasa di - uwongke . Pembelajaran andragogik juga
menekankan pada problem solver sehingga teori yang diajarkan akan menjadi pisau analisis
terhadap realitas yang ada, bukannya terbatas sebagai alat untuk menjawab soal dalam ujian.
Langkah ketiga adalah mengoptimalkan kurikulum lokal. Kurikulum lokal yang selama
ini diterjemahkan dengan muatan lokal harus benar-benar diberdayakan. Selama ini kurikulum
lokal diposisikan sebagai pelengkap derita dan tidak dimanfaatkan untuk dijadikan sebagai
sebuah keunggulan. Mestinya kurikulum lokal benar-benar menjadi branch image setiap sekolah
di wilayah tertentu sehingga memperkaya keilmuan yang ada sekaligus konservasi terhadap
keunikan-keunikan lokal, dan sebagai bentuk perimbangan terhadap globalisasi yang semakin
liar.
Fleksibel
Langkah yang terakhir adalah kemauan dari Dinas Pendidikan Nasional untuk tidak lagi
memosisikan diri sebagai God Father yang dapat membatasi daya kritis sekolah-sekolah di
daerah. Dinas Pendidikan Nasional harus lebih fleksibel dalam menentukan kurikulum yang
berlaku. Yang sangat penting adalah mengubah bentuk kegiatan ujian menjadi evaluasi.
Ujian Nasional yang dilaksanakan selama ini sangat menguras tenaga dan pikiran guru dan
terlebih peserta didik. Keberhasilan ujian menjadi sasaran akhir setiap peserta didik, dengan
mengesampingkan aspek lainnya. Bahkan banyak sekolah yang terpaksa mengorbankan mata
pelajaran lainnya demi sukses di mata pelajaran yang diujikan secara nasional.
Sesungguhnya evaluasi dapat dilakukan setiap saat untuk mengetahui daya serap siswa atau
ketercapaian kompetensi yang dicapai, akan tetapi hasil yang dicapai bukan menjadi alat untuk
memvonis lulus tidaknya siswa. Evaluasi dijadikan pijakan langkah berikutnya guna lebih baik
dalam proses pembelajaran dan penyelenggaraan sekolah.
Pendidikan kritis sangat diperlukan agar setiap manusia mengenal kediriannya, humanis,
tidak kerdil dan reaktif terhadap perubahan yang terusmenrus. Membangun pendidikan kritis
adalah tanggung jawab bersama seluruh stakeholder pendidikan (11).

Tidak ada komentar: